Tidak satupun manusia bisa memilih nasibnya, tak terkecuali para ibu luar biasa yang hadir di Kick Andy dalam episode Asa Diantara Air Mata ini. Inilah gambaran kasih sayang para ibu yang tiada batas dan tak pernah surut, meski mereka dikaruniai anak-anak yang “istimewa“.
Tersebutlah seorang ibu asal desa Manding, Saptodadi, Bantul, Jogjakarta – Ibu Tukirah. Ibu berusia 61 tahun ini sepanjang hari selama 35 tahun terakhir hidupnya, ia habiskan untuk mengurus tiga orang anaknya yaitu, Eko Nurohmat (35 tahun), Dwi Nurbintarti (32 tahun) dan Chairul Samsuri (29 tahun) yang terlahir dalam keadaan cacat fisik dan keterbelakangan mental.
Mereka sangat tergantung dengan Tukirah mulai dari makan, minum, berpakaian, mandi, dan hal-hal pribadi lainnya karena mereka tidak bisa melakukannya sendiri, dan mereka hanya mampu berbaring di atas tikar lusuh sepanjang hari, tapi Tukirah tidak pernah menyesali apalagi menelantarkan anak-anaknya. Baginya kehidupan mereka adalah segalanya, bahkan hampir-hampir ia tidak memiliki waktu untuk dirinya sendiri.
Tukirah bukan tidak berusaha untuk mencari kesembuhan bagi ketiga anaknya. Ia bahkan pernah membawa anaknya berobat ke berbagai tempat namun tidak kunjung sembuh hingga akhirnya ia pasrah menghadapi semuanya. Bahkan saat ia hamil anak ketiga, ia sempat kontrol ke dokter sejak hamil, lahir sampai saat penimbangan. Ia juga pernah membawa anak ketiganya tersebut ikut terapi selama 2 tahun namun tidak membuahkan hasil.
Tukirah kini sudah berusia 60 tahun, rambutnya sudah mulai memutih, tenaganya pun sudah mulai berkurang, penyakit gula darah, darah tinggi dan jantung sudah hinggap di dirinya. Terkadang jika ia sudah tidak kuat lagi dan harus berisitirahat, ia hanya bisa tidur sebentar. Sebelum akhirnya kembali mengurus anak-anaknya.
Sejak suaminya - Sandiman, pensiun dari mengajar di SMP Negeri 1 Sewon, tahun 2004, barulah membantu Tukirah mencuci. Diakui Tukirah, suaminya memang tidak setelaten dirinya. Hingga kini mereka hanya menggantungkan hidup dari uang pensiunan tersebut. Tukirah terkadang mengaku sedih jika anaknya minta uang jajan tetapi ia tidak bisa memberikannya. Karena menurut Tukirah anak-anaknya tidak pernah meminta apa-apa dari dirinya.
Setiap malam menjelang tidur, Tukirah membayangkan siapa yang akan merawat anak-anaknya kelak jika ia meninggal. Sering dia bertanya, "Apakah saya berdosa jika saya meminta kepada Yang Kuasa agar anak-anak saya meninggal lebih dahulu dibanding saya". Dia mengkhawatirkan hal ini, karena tidak ada orang yang mampu merawat anak-anaknya seperti ibunya sendiri. Pernah suatu kali, Tukirah pergi ke pasar dan menitipkan anaknya ke saudaranya ternyata ketika pulang, anaknya yang bungsu mengalami patah kaki. Tukirah pun menjadi sedih, ia tidak menyalahkan siapa pun hanya saja ia mengaku menjadi lebih berhati-hati jika harus menitipkan anak- anaknya. Bahkan saat diundang ke Kick Andy, Tukirah baru bersedia asalkan suaminya tetap tinggal di rumah menjaga ketiga buah hati mereka.
Tamu Kick Andy berikutnya adalah Ibu Sadiah yang memiliki 8 orang anak dari pernikahannya dengan (Alm) Amin Pupu. Namun 5 dari 8 orang anaknya menderita kelumpuhan. Sadiah sendiri mengalami hal yang sama. Ia juga mengalami pelemahan otot secara bertahap sejak kelahiran anak bungsunya. Hingga akhirnya sejak 3 bulan yang lalu ia mengalami kelumpuhan total. Sadiah dan anak-anaknya tinggal di rumah sederhana di atas tanah warisan suaminya di Kampung Warung Poncol, Desa Duren Mekar, Kecamatan Sawangan, Kota Depok.
Anak pertamanya, Marpuah, mulai mengalami pelemahan otot di usia 12 tahun. Dan akhirnya lumpuh total saat berusia 40 tahun. Begitupun dengan keempat adik-adiknya, Suryadi, Hoirudin, Tabroni dan Nyai. Mereka semua mengalami pelemahan otot secara bertahap hingga akhirnya lumpuh total. Sedangkan ketiga adiknya yang lain, dua normal yaitu Sape’i dan Pendi, sedangkan Holid walaupun masih bisa berjalan tetapi kini juga mulai mengalami pelemahan otot.
Karena penyakit yang dideritanya, hampir semua anak Sadiah tidak lulus SD. Hanya Sape’i yang mengenyam pendidikan sampai SMP. Dan Pendi menjadi satu-satunya anak Sadiah yang sukses menempuh pendidikan sampai mendapatkan gelar diploma. Sape’i sekarang sudah menikah dan memiliki 3 orang anak yang normal dan bekerja sebagai pembersih kolam di padang golf. Pendi bekerja sebagai pegawai kontrak di daerah Fatmawati. Sedangkan Holid sendiri sehari-hari bertugas menjaga warung milik mereka.
Menurut Sadiah, keadaan keluarganya sudah lebih baik semenjak media memberitakan tentang keadaan keluarganya sekitar 5 tahun yang lalu. Sebelumnya, suaminya terpaksa harus menjual tanah warisannya sedikit demi sedikit untuk membiayai kehiudpan mereka. Almarhum suaminya sendiri, Amin Pupu, hanya seorang petani. Praktis untuk membiayai kehidupan mereka saat itu, Amin Pupu harus berjuang sendiri dibantu oleh kedua anaknya yang normal yaitu Sape’i dan Pendi.
Sadiah mengaku ia dan suaminya tidak ada saudara kandung, orangtua, atau kakek neneknya yang menderita kelumpuhan, sebagaimana yang dialami Saidiyah dan lima anaknya. Begitu pun yang terjadi pada Suryadi. Anak keduanya itu tiba-tiba jatuh dan kakinya lemas tidak bisa menopang tubuhnya. Karena takut bernasib seperti Marpuah yang saat itu sudah terserang lumpuh, saat itu suaminya membawa Suryadi berobat ke dokter. Suryadi sempat dirawat di Rumah Sakit Fatmawati selama lebih kurang tiga bulan. Karena tidak ada perubahan, akhirnya Suryadi di bawa pulang. Karena tidak mempunyai biaya lagi, Sadiah dan suaminya tidak membawa anak-anaknya yang lain ke rumah sakit. Sadiah pernah mendapat bantuan pengobatan gratis dari Hembing namun karena tidak ada perubahan akhirnya tidak diteruskan.
Setelah Marpuah dan Suryadi lumpuh, penyakit itu memang kemudian berturut-turut menyerang Sadiah, Hoirudin, Tabroni, Holid, dan Nyai. Sadiah tidak ingat berapa selang waktu penyakit itu menyerang anak-anaknya. Yang Sadiah ingat, kelumpuhan itu datang setelah masing-masing anaknya masuk SD. Anaknya yang bungsu, Nyai mulai terserang gejalanya ketika sudah kelas empat SD. Karena jalannya jadi cacat, Nyai akhirnya berhenti sekolah. Semua anaknya yang menjadi lumpuh tidak ada yang tamat SD.
Suaminya, (Alm) Amin Pupu meninggal 1,5 tahun yang lalu akibat penyakit paru-paru yang dideritanya. Sekarang ini mereka hidup dari bantuan beberapa orang yang bersimpati dengan kehidupan mereka. Untuk kebutuhan sehari-hari, kedua anaknya yang normal, Sape’i dan Pendi ikut membantu memenuhi kebutuhan hidup ibu dan saudara-saudaranya. Sedangkan kelima anaknya yang lumpuh biasanya membantu kegiatan rumah tangga seperti, memasak, mencuci dan bersih-bersih.
Keterbatasan jarak dan biaya tak dihiraukan oleh ibu dengan enam anak ini - Petronela Weheb, seorang ibu yang gigih memperjuangkan kesembuhan ketiga anaknya yang divonis dystrophy muscular progressiva, kelainan otot yang menyebabkan ketiga buah hatinya itu menjadi sulit berjalan. Ibu Petronela berasal dari Maluku Barat Daya. Ia datang ke Jakarta awal tahun 2010 demi mencari kesembuhan bagi ketiga anaknya. Di Jakarta, ia tinggal dirumah kontrakan berukuran 2,5 x 6 meter di daerah Jakarta Timur bersama ketiga anaknya yang lumpuh yaitu Mestenom Weheb (27) dan Samuel Weheb (21), dan Heri Paulus (10 tahun) dan anak bungsunya yang terlahir normal dan berusia 6 tahun. Pada pertengahan bulan Juni, suaminya Lukas Weheb menyusul dirinya dan keempat anaknya di Jakarta.
Hidup di Jakarta, membuatnya semakin hidup dalam kekurangan, terlebih karena ia tidak bekerja dan waktunya tersita untuk mengurus ketiga anaknya yang menjadi lumpuh. Biaya untuk makan dan mengontrak rumah ia dapatkan dari sumbangan keluarganya di Ambon.
Cobaan hidupnya bertambah ketika anak pertamanya, Meste, terkena infeksi paru-paru dan sampai pada kondisi koma, hingga perlu dilarikan ke RSCM. Bertambah miris hati Petronela saat dokter mengatakan bahwa pemeriksaan pada kaki anak2nya tidak mengupayakan hasil apapun, dokter tidak memberi saran pada kesembuhan ketiga anaknya. Kini Petronela hanya dapat berdoa dan pasrah kepada Tuhan dan berharap agar anak-anaknya dapat berjalan normal seperti anak-anak lain sehingga dapat meraih masa depan seperti yang mereka cita-citakan.
Ketika lahir, Dhea anak dari pasangan Ekawati dan Fauzy yang menikah pada tahun 1988 terlihat normal saat balit. Satu hal yang membuat Ekawati khawatir karena Dhea sangat sulit makan, dan berpikir hal ini bisa menimbulkan penyakit. Namun ternyata Dhea sehat-sehat saja.
Saat Dhea duduk dibangku SD, Ekawati sepakat bersama suaminya untuk menambah anak satu lagi. Ekawati pun kemudian melahirkan anak keduanya Dhena Celya, pada tahun 1995. Dokter yang membantu Dhena sejak awal memberitahu Ekawati dan suaminya bahwa bayi mereka menderita Down Syndrome. Ekawati sempat syok. Dunianya serasa hancur. Apapun nama kelainana yang diderita anaknya begitu menakutkan bagi dirinya dan suaminya.
Begitu tahu apa yang akan dihadapinya, Ekawati semakin syok. Air matanya tercurah sederas-derasnya, tubuhnya juga terasa lemah. Sampai akhirnya ia tiba di satu titik diaman ia merasa tidak kuat lagi menerima cobaan ini. Di saat itulah Ekawati sadar bahwa ia harus tabah. Ia harus menerima ini sebagai bentuk kasih saying dari Tuhan Yang Maha Esa (TYME). Karena Tuhan telah memilih Ekawati dan suaminya untuk memiliki anak istimewa seperti Dhena.
Sejak kelahiran Dhena otomatis waktunya banyak tersita untuk Dhena. Bahkan hal-hal kecil untuk Dhena sangat ia perhatikan. Anak pertamanya, Dhea, saat itu sudah masuk SD dan sudah mulai mandiri. Disamping itu, Ekawati juga terus berusaha untuk mencari kesembuhan untuk anak keduanya. Ekawati bahkan bolak-balik membawa Dhena ke alternatif walaupun tidak membuahkan hasil sampai Dhena berusia 2 tahun.
Cobaan kembali datang kepada Ekawati saat, anak pertamanya, Dhea, berusia 9 tahun. Ia terkejut saat melihat Dhea terbatuk-batuk dan sesak nafas. Mereka kemudian membawa Dhea ke rumah sakit. Menurut hasil pemeriksaan, Dhea menderita Anemia. Hasil laboratorium bahkan menunjukkan Hb darahnya sangat rendah hanya 3. Dokter kemudian menyatakan bahwa Dhea positif menderita tiga kebocoran ginjal. Ekawati pun kembali syok. Dokter pun memberikan obat-obatan yang harus dikonsumsi Dhea. Menurut dokter, ginjal yang bocor masih bisa diobati namun bila bertambah parah bisa menjadi gagal ginjal.
Ekawati merasa terpukul, dilain pihak, Dhea, anaknya yang divonis menderita gagal ginjal terlihat sangat kuat. Sebagai salah seorang penderita gagal ginjal, Dhea ikut aktif dalam Yayasan Ginjal Diatrans Indonesia (YGDI) dan ikut mengelola websitenya. Dhea bahkan sempat menjadi pembicara di depan para penderita gagal ginjal. Dhea terlihat tidak peduli dan tak mengeluh, wajahnya dari hari ke hari membulat akibat mengkonsumsi obat obat-obatan setiap harinya dan akhirnya membentuk wajah bulan.
Pada tanggal 22 September 2008, anaknya, Dhea yang mengidap gagal ginjal akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya dan harus menyerah kepada sakit yang di deritanya. Sampai sekarang, Ekawati mengaku agak trauma jika anaknya sakit. Sedangkan Dhena, sekarang berusia 15 tahun dan bersekolah di SLB Assafiiyah. Ia berkembang menjadi anak yang ceria. Ia bahkan mengidolakan Choky Sitohang dan berbicara dengan bahasa gaul. Walaupun menderita down syndrome, Dhena termasuk tipe yang hiperaktif.
Sosok Masniari Siregar, adalah contoh salah satu ibu yang dengan sabar berjuang demi keberhasilan sang buah hati. Istri dari Ali Pananganan Harahap ini, dalam delapan tahun melahirkan enam anak yaitu, Barli Hakim Harahap (tuna rungu), Raja Muddin Harahap (normal), Erwin Syafruddin Harahap (tuna rungu), Rachmita Maun Harahap (tuna rungu), Linda Nora Harahap (normal), dan Ade Nurima Harahap (tuna rungu). Empat dari enam anaknya menderita tuna rungu sejak lahir, namun ibu Masniari menerima kenyataan itu dengan berbesar hati. Bahkan kecintaannya terhadap sang anak juga diwujudkannya dengan merawat cucunya seorang diri di rumah.
Kini berkat didikan Masniari dan suami, salah satu anaknya yang menderita tuna rungu, Rachmita Maun Harahap, bahkan berhasil menyelesaikan pendidikan hingga ke jenjang S2, dan menjadi konsultan arsitektur interior. Mita yang juga karyawan di salah satu laboratorium desain interior di Jakarta ini, sangat mensyukuri memiliki orangtua yang kerap membimbingnya meraih cita-cita. Hal ini juga dirasakan oleh saudara-saudaranya yang lain. Salah satunya, Erwin Syafrudin Harahap, meski tuna rungu namun ia berhasil menjadi tenaga marketing di salah satu perusahaan swasta. Dengan bimbingan orangtua, Erwin menjadi lebih percaya diri mengaktualisasikan dirinya.
0 comments:
Post a Comment
silakan komen :))